Peringatan : Semua yang tertulis ini adalah opini pribadi penulis berdasarkan apa yang dirasakan dan dialami pada saat itu.

JIka banyak teman-temanku yang kaget saat aku mengambil kuliah lagi, begitupun aku mungkin jika ditanya 5 tahun sebelum sekarang. Dengan IPK yang sekedar cukup untuk lulus, walaupun berlabel gajah, rasanya keinginan untuk meneruskan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi dengan biaya dari pihak lain adalah impian yang nampaknya agak muskil diwujudkan.

Tetapi ternyata Tuhan punya rencana lain dengan semua perjalanan hidup yang aku jalani. Perjalananku dengan Transformer Team ke segala penjuru nusantara, pertemuanku dengan tim manajemen, coach bisnis, pengusaha, dan terutama dengan beberapa ‘matahari’ ternyata adalah sebuah persiapanku untuk mempertanyakan satu pertanyaan yang paling penting yang mengarahkanku untuk memilih MSM sebagai studi lanjutku. Pertanyaan itu adalah kenapa banyak sekali tools dan teori manajemen yang canggih dan hebat hasil keluaran budaya asing saat diterapkan di perusahaan Indonesia kok hasilnya lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Dan akhirnya aku menemukan bahwa ternyata manajemen itu selalu cultural bounded, artinya pemahaman tentang ilmu itu sekaligus penerapannya akan selalu terkait dengan konteks budaya tempat ilmu itu dilahirkan. Seperti halnya bahasa dan politik.

Beruntung di MSM pendekatan yang diambil adalah manajemen sebagai bagian ilmu sains, jadinya ketika kita bicara tentang manajemen maka kita akan berbicara tentang perilaku manusia. Dan hal itulah yang membimbingku untuk menemukan pertanyaan besarku ttg kenapa orang indonesia sepertinya agak keteteram klo udah ngomong manajemen. Yernyata hal itu disebabkan bahwa budaya nasional itu belum terbentuk, sedangkan manajemen itu akan selalu terikat adat yang melahirkannya. Contohnya Kaizen akan selalu cocok dengan orang Jepang, karena semangat bushido mereka mengilhami kesempurnaan setiap proses yg sangat sesuai semangatnya dengam kaizen.

Yang kedua dalam manajemen sistem nilai selalu akan mengikat praktek manajemen itu sendiri sedangkan nilai dalam budaya di Indonesia sangat beragam dan tak bisa diterapkan “one size fits all”. Jadi jika ingin mengejar ketertinggalan, maka pendidikan di Indonesia perlu mengajarkan pendidikan cinta tanah air itu mrngarah pada nilai yg nantinya akan disepakati bersama dan dapat dijadikan konsensus dari semua busaya yg hidup di Indonesia.

Jalan menuju kesana masih panjang tetapi jika tidak diajarkan dari sekarang maka bangsa ini lama kelamaan akan menjadi sekedar buih dan dialunkan gelombang dan ombak. Satu hal kecil yg bisa dilakukan dari diri sendiri adalah setidaknya menjadi kerikil, walaupun kecil dia memilih berarti dan akan menimbulkan riak saat dilempar ke air. Artinya ada, berarti dan membuat perbedaan.